Bangsa Indonesia sedang dan terus menggeliat dalam pembangunan.
Wacana pembangunan yang kini memanas terkait dengan rencana pemindahan
ibukota ke kota Palangka Raya di Kalimantan Tengah (Kalteng). Berbagai
artikel bahkan forum di bangku akademik membahas peluang dan tantangan
pemindahan ini.
Tentu saja tulisan ini tidak dalam rangka membahas wacana tersebut,
namun lebih menitikberatkan kondisi pariwisata Kalimantan yang menurut
Direktur Promosi Luar Negeri Kemenbudpar RI, I Gde Pitana Brahmananda
(2009) ibarat raksasa yang mulai menggeliat.
Jauh sebelum wacana pemindahan ibukota
tersebut berkembang, Kalimantan telah dikenal dunia karena keberadaan
hutan hujan tropisnya yang dianggap memiliki peran vital bagi
pengurangan emisi karbon dan fungsi vitalnya sebagai paru-paru dunia.
Kini, mata dunia pun tetap mengarah ke pulau yang posisinya tepat di
jantung Indonesia ini.
Baru-baru ini (Juli, 2010), George Soros,
seorang pengusaha sekaligus penasihat khusus Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim, khusus datang
dengan pesawat pribadinya ke Kalteng karena ketertarikannya berinvestasi
pada rehabilitasi lahan gambut. Disela kegiatannya tersebut, tidak
ketinggalan pula kegiatan wisata menjadi agenda penting dalam upaya
mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang Kalimantan.
Sambutan pihak pemda lokal terhadap
kedatangan tokoh ini seolah menjadi contoh konkrit pelayanan dan bentuk
keramah tamahan terhadap tamu asing. Sementara itu keinginan sang tokoh
untuk menikmati sensasi bermalam di atas sungai dengan kapal wisata,
menyusuri kawasan desa-desa suku Dayak dan hutan yang berisi satwa
endemik, menjadi semacam tolok ukur dari terjadinya perubahan consumer behaviour pattern
atau pola konsumsi dari para wisatawan internasional ke jenis wisata
yang lebih khusus, yakni menikmati kehidupan dan kreasi budaya (culture) dan alam asli (nature) atau ekowisata dari suatu daerah.
Di sisi lain, WWF Indonesia (2008),
memang secara gencar mempublikasikan melalui media internasional bahwa
Kalimantan adalah Destinasi Ekowisata terbaik di dunia. Tentu saja pamor
ini tak dapat disangkal. Adanya pusat rehabilitasi terbesar Orang Utan (pongo pygmaeus)
telah menjadi ikon ekowisata Kalimantan. Tingginya kunjungan wisatawan
asing ke Indonesia, dimana destinasi yang menjadi tujuan utama adalah
taman-taman nasional Kalimantan yang memiliki pusat reintroduksi dan
penelitian bagi mamalia yang dipercaya sebagai nenek moyang manusia itu.
Kalimantan yang berpredikat sebagai Destinasi Ekowisata, telah menjadi mainstream diam-diam
dalam kontelasi kepariwisataan internasional. Ia telah memikat hati
para wisatawan dunia. Sayangnya, momentum ini belum dikelola dengan baik
dalam bentuk promosi, pengemasan dan publikasinya oleh pemerintah
setempat.
Tak hanya sampai disitu, mengacu pada
inisiatif tiga negara (Indonesia, Brunai Darussalam dan Malaysia) yang
sepakat mendeklarasikan Heart of Borneo (HoB) sejak tahun 2007 lalu, makin menegaskan ke dunia internasional bahwa brand image
dan publikasi Kalimantan oleh pihak ketiga sebagai kawasan konservasi
ekologis makin menguat. Adanya kegiatan HoB yang melibatkan secara pro
aktif berbagai elemen dan sektor dalam upaya pelestarian alam,
lingkungan, budaya dan mengangkat citra daerah/bangsa, disadari atau
tidak, pada dasarnya telah selaras dengan tujuan kepariwisataan nasional
yang tertuang di dalam pasal 4 UU Kepariwisataan No. 10 tahun 2009.
Kalimantan sebagai Destinasi Strategis Masa depan
Mengacu pada UU Kepariwisataan No. 10
tahun 2009 pasal 1 mengenai kawasan strategis pariwisata, maka bila
ditinjau lebih lanjut Kalimantan tepat berada pada posisi kawasan yang
dinilai mempunyai pengaruh penting bagi dunia internasional terutama
pada aspek pemberdayaan sumber daya alami, daya dukung lingkungan hidup,
sosial dan budaya. Nilai penting dan nilai strategis inilah yang
memposisikan Kalimantan lebih condong sebagai satu kesatuan destinasi
wisata, bukan sekedar destinasi parsial yang dibatasi wilayah
administratif.
Kesatuan destinasi wisata ini seharusnya
ditandai dengan adanya perencanaan lintas wilayah atau lintas propinsi
administratif. Pembangunan infrastruktur jalan lintas propinsi memang
menjadi tanda kerjasama regional. Sayangnya, sektor pembangunan
pariwisata Kalimantan belum direalisasikan secara konkrit di dalam Forum
Kerjasama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan
(FKRP2RK), yang kemudian tertuang dalam Kesepakatan Bersama Gubernur se
Kalimantan mengenai usulan program pembangunan Kalimantan 2011.
Hal ini menjadi preseden buruk, tatkala Inpres No.16 tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata yang dikeluarkan 29 Desember 2005 hingga Keputusan Presiden No.38
Tahun 2005 yang mengamanatkan bahwa seluruh sektor pembangunan
diarahkan untuk mendukung pembangunan pariwisata Indonesia. Demikian
pula dengan mandat RPJM tahun 2004-2009 yang menjelaskan bahwa salah
satu sasaran untuk meningkatkan sektor non migas adalah meningkatkan
kontribusi pariwisata dalam perolehan devisa daerah sekaligus negara.
UNWTO (2009), melalui rilis Tourism Highlights-nya
telah memperkirakan di tahun 2010 akan tercapai target 1,046 milyar
kunjungan dan ledakan turis yang ingin menjelajah berbagai destinasi
wisata baru diperkirakan akan melampaui angka 1,602 milyar di tahun 2020
terutama ke kawasan Asia Pasifik dan memproyeksikan pula bahwa
ekspetasi wisatawan internasional pada wisata minat khusus dan
mengunjungi kawasan eksotis berlabelkan ekowisata akan menjadi trend.
Pada poin inilah, isu krusial yang
sepatutnya diperhatikan adalah, kesiapan perencanaan pariwisata
Kalimantan, dukungan infrastruktur ekowisata dan tren green lifestyle pasar wisatawan internasional menjadi sangat relevan untuk dikembangkan.
George Soros menjadi proyeksi atau
semacam gambaran umum tipe wisatawan internasional yang dimaksud,
walaupun tujuan kunjungannya berkaitan dengan perubahan iklim dunia,
namun keinginan untuk menikmati satwa endemik lokal, menikmati eksotisme
hutan tropis, menikmati kuliner lokal, tinggal dan menginap di atas
sungai bahkan sekedar menghirup udara murni dari pusat paru-paru dunia
menjadi penanda bahwa pembangunan kepariwisataan Kalimantan sangat
mendesak untuk direncanakan secara terpadu dan melalui penetapan
kebijakan yang jelas.
Inilah saatnya meningkatkan kualitas
pariwisata Indonesia melalui Kalimantan. Pemerintah diharapkan tidak
lagi membiarkan sektor pariwisata bagai ladang emas tak bertuan.
Salam Pariwisata!
Posting Komentar